Monday, September 7, 2009

Kehidupan Adalah Malam Hari

Pada saat kita ditanya kapankah kita akan meninggal? Kapan kita akan menjadi orang kaya? Siapakah nenek buyut, mbah canggah, wareng, gantung siwur dan semua silsilah nenek moyang kita? Hari ini akankah kita selamat tiba di rumah kembali setelah seharian penuh bekerja? Apakah anak-anak kita kelak akan menjadi anak yang sholeh-sholihah ataukah akan jadi anak durhaka? Tahukah kita?

Seorang pengemudi angkot, dapatkah dia memastikan pada menit dan detik ke berapa seseorang akan keluar dari sebuah gang untuk kemudian naik angkotnya? Seorang mbakyu penjaja warteg tahukah dia pada suatu pagi berakah pelanggan yang akan mengunjunginya di hari itu? Tahukah kita seberapa banyak jumlah bintang, planet, meteor dan segala benda langit yang mengitari kita? Tahukah kita seberapa banyak rambut yang tumbuh sebagai mahkota di atas kepala kita?

Dari semua pertanyaan yang telah terlontar di atas, kebanyakan dari kita pasti lebih banyak tidak mengetahuinya. Pengetahuan manusia senantiasa terbatas dan hanya sedikit sesungguhnya fenomena di sekitar kita yang benar-benar menjadi pengetahuan manusia. Dengan demikian sangatlah sahih apabila dikatakan bahwa andaikan seluruh air lautan dijadikan tinta dan semua daun, ranting dan pepohonan dijadikan kertas, niscaya tiada akan pernah cukup untuk menuliskan kalam ilahi rabbi. Jika kita tahu, betapa kita semakin tidak tahu betapa penuh cahaya yang dikandung oleh cahayaNya.

Andai kita andaikan, bahwa ketidaktahuan adalah gelap, dan gelap adalah malam hari, maka dapatkah hidup kita di dunia diartikan bahwasanya kita tengah menempuh suatu perjalanan di malam hari? Bukankah cukup logis demikian.

Sedikit coba merenung kedalaman makna peringat Isra’ Mi’raj Kanjeng Nabi Muhammad SAW, didalilkan dalam Surat Bani Israil ayat pertama “Subhannaladzi asro bi’abdihi lailam……” maha suci Allah yang telah memperjalankan hambaNya di malam hari.

Apakah dalil perjalanan di malam hari itu hanya dikhususkan untuk peristiwa Isra’ Mi’raj Kanjeng Nabi saja? Dalam suatu hadist qudsi pernah diriwayatkan bahwasanya sesungguhnya setiap muslim yang taat pada saat menjalani sholat lima waktu berarti sedang menjalani isra’ mi’rajnya kepada Allah, dalam pengertian khusus tentunya. Apakah dengan demikian dapatlah dikatakan setiap muslim juga menjalani perjalanan di malam hari di setiap keseharian hidupnya? Hidup adalah sebuah perjalanan di malam hari.

Maka teramat logis juga di penghujung Surat Al Qodar, Allah menitahkan “Salammun hiyya khatta math’il fajr”. Semoga engkau selamat hingga menjelang fajar. Bukankah ini mengindikasikan bahwa Tuhanpun bahkan mendoakan hambanya agar dalam menjalani perjalanan malamnya dapat melewatinya dengan selamat hingga terbitnya fajar menuju kehidupan di siang hari. Maka berhati-hatilah dalam perjalanan malammu, agar engkau dapat mencapai akhir perjalanan yang khusnul khotimah sehingga di kehidupan siangmu dimana nampak terang dan jelas perbedaan baik dan buruk, benar dan salah. Dan kehidupan siang itu adalah alam akhirat, sedangkan fajar adalah waktu menjelang sang sakaratul maut.

Suatu malam likuran di akhir Ramadhan 1424 H, Cak Nun sempat membabar crita mengenai tafsir menembus malam terkait dengan dalil Isra’ Mi’raj di atas. Maha Suci Allah….kenapa surat tersebut diawali dengan kesucianNya, bukan kebesaran, bukan kelembutan, bukan kepenyayanganNya? Hal tersebut dimaksudkan bahwasanya tujuan ibadah dan segala aktivitas hidup seorang hamba adalah untuk mensucikan Allah. Dan karena Allah adalah dzat Yang Maha Suci, maka amatlah logis bahwa dalam perjalanan penghambaanya sang manusia akan semakin memperoleh kesucian diri. Dapatlah dianalogikan bila seseorang dekat dengan penjual minyak wangi, amatlah logis jika orang tersebut juga akan kecipratan bau harum parfum. Andaikan seseorang bergaul dalam dalam suatu momunitas yang baik, adalah logis apabila seseorang yang buruk, ataupun kurang baik pada suatu saat akan menjadi lebih baik? Namun kebalikannya juga demikian. Ojo cedhak kebo gupak, kata simbah saya menasehati.

Asro bi’abdihi, yang memperjalankan hambanya! Dalam hidup kita di dunia, posisi apakah yang kita pilih? Apakah kita memilih menjadi juragan bagi hidup kita sendiri? Kalaulah kita memilih menjadi seorang juragan, maka semua hal harus kita tanggung sendiri. Perlu makan, cari sendiri! Perlu air, buat hujan atau mata air sendiri! Diri kita dimusuhi orang, hadapilah sendiri! Diibaratkan sebuah lukisan, dalam posisi ini kita adalah lukisan tanpa pelukis. Jadi apabila lukisan dirusak, maka tiadalah pelukis yang akan marah dan membela lukisan tersebut.

Namun sebaliknya andaikata kita memilih sebagai abdi, sebagai hamba, maka di setiap ujung usaha dan ihtiar kita sebagai manusia kita tinggal memasrahkannya kepada sang juragan. Apabila kita perlu pergi ke suatu tempat dalam rangka menjalankan perintah sang juragan, biarlah juragan kita yang mengurusi ongkos dan segala akomodasinya. Apabila ada pihak yang memusuhi kita, kita serahkanlah urusan penyelesaiannya kepada juragan. Dalam posisi ini kita adalah lukisan yang ada pelukisnya, sehingga andai lukisan dirusak maka hadapilah kemarahan sang pelukis lukisan.

Dari uraian di atas, pilihlah posisi seorang gembala, bocah angon yang memiliki seorang juragan. Dengan demikian segala hal yang menjadi urusannya merupakan kepanjangan titah dari sang juragan. Oleh karena itu setiap hal yang menghalangi bagi pelaksanaan titah sang juragan tersebut tentu langsung maupun tidak langsung suatu kelak akan berhadapan juga dengan juragan kita. Dan karena kita merasa diri sebagai manusia yang lemah dengan segala keterbatasan kekayaan dan pengetahuan kita, juga tiadalah mempunyai hubungan kekerabatan dengan para penguasa pemegang kebijakan roda dunia, maka salahkah bila kita kemudian memilih Allah sebagai juragan kita?
Sekali lagi, hidup kita adalah malam hari lho. Jadi pandai-pandailah menjaga diri, peganglah dengan sungguh-sungguh pelita petunjuk yang diwariskan oleh Kanjeng Nabi berupa Al Qur’an dan Hadist. Niscaya kita akan selamat mencapai terbitnya fajar untuk menyongsong kehidupan di siang hari yang lebih kekal dan abadi. Wallahu alam…..(Sang Nananging Jagad)

Wednesday, August 26, 2009

Sandiwara Ramadhan

oleh : Emha Ainun Najib

Semua kawan - kawan yang tercinta
Ayo siap kita bermain sandiwara
Siapkan kerudungnya dan jilbabnya
Kali ini kita tutup aurat kita

Siapkan sorban - sorban dan pecinya
Marilah hormati agama kita
Wahai Tuhan Yang Maha Suci
Terimalah pakaian kami

Apabila bulan Ramadhan telah datang
Agama jadi laris bukan buatan
Siapkan lambang - lambang dan kostumnya
Kenakanlah semua didepan kamera

Yang penting penampilan dan aktingnya
Yang penting warna - warni dan gayanya
Wahai Tuhan Yang Maha Suci
Terimalah pakaian kami

yang paling "dekat,jauh,besar,berat,ringan dan tajam" di dunia

Suatu hari, Imam Al Ghozali berkumpul dengan murid-muridnya. Lalu Imam Al
Ghozali bertanya....

Pertama,
"Apa yang paling dekat dengan diri kita di dunia ini?".
Murid-muridnya menjawab : "orang tua, guru, kawan, dan sahabatnya".
Imam Ghozali menjelaskan semua jawapan itu BENAR.
Tetapi yang paling dekat dengan kita adalah MATI.
Sebab itu sememangnya janji Allah SWT bahwa setiap yang bernyawa pasti akan
mati (Q.S. Ali Imran 185)

Kedua,
"Apa yang paling jauh dari diri kita di dunia ini?".
Murid -muridnya menjawab : "negara Cina, bulan, matahari dan
bintang-bintang".
Lalu Imam Ghozali menjelaskan bahawa semua jawaban yang mereka berikan itu
adalah BENAR.
Tapi yang paling benar adalah MASA LALU.
"Walau dengan apa cara sekalipun kita tidak dapat kembali ke masa lalu.
Oleh sebab itu kita harus menjaga hari ini dan hari-hari yang akan datang
dengan perbuatan yang sesuai dengan ajaran Agama".

Ketiga,
"Apa yang paling besar di dunia ini?".
Murid-muridnya menjawab : "gunung, bumi dan matahari".
Semua jawaban itu BENAR kata Imam Ghozali.
Tapi yang paling besar dari yang ada di dunia ini adalah NAFSU (Q.S.
Al-A'Raf 179).
"Maka kita harus berhati-hati dengan nafsu kita, jangan sampai nafsu membawa
kita ke neraka".

Keempat,
"Apa yang paling berat di dunia ini?".
Ada yang menjawab : "besi dan gajah".
Semua jawaban adalah BENAR, kata Imam Ghozali, tapi yang paling berat adalah
MEMEGANG AMANAH (Q.S. Al-Ahzab 72).
"Tumbuh-tumbuhan, binatang, gunung, dan malaikat semua tidak mampu ketika
Allah SWT meminta mereka untuk menjadi khalifah (pemimpin) di dunia ini.
Tetapi manusia dengan sombongnya menyanggupi permintaan Allah SWT, sehingga
banyak dari manusia masuk ke neraka karena ia tidak dapat memegang
amanahnya".

Kelima,
"Apa yang paling ringan di dunia ini?"
Ada yang menjawab : "kapas, angin, debu dan daun-daunan".
Semua itu BENAR kata Imam Ghozali, tapi yang paling ringan di dunia ini
adalah MENINGGALKAN SHOLAT.
"Gara-gara pekerjaan, kita meninggalkan sholat; gara-gara bermesyuarat, kita
meninggalkan sholat".

Dan pertanyaan keenam adalah,
"Apakah yang paling tajam di dunia ini?"
Murid-muridnya menjawab dengan serentak : "pedang".
BENAR, kata Imam Ghozali, tapi yang paling tajam adalah LIDAH MANUSIA.
"Karena melalui lidah, ,manusia selalu menyakiti hati dan melukai perasaan
saudaranya sendiri".